SURABAYA, MettaNEWS – Kegelisahan meliputi Ursulla Pradjonggo, seusai pengusaha asal Surabaya itu berkunjung ke kawasan superkumuh di Calcuta, India. Kegelisahan itu kemudian mendorongnya membentuk Perempuan Indonesia Belajar. Sebuah komunitas untuk berbagi dan melayani.
“Kami bersyukur, kemarin Perempuan Indonesia Belajar telah mendapat pengakuan dan pengesahan sebagai lembaga. Ini kami anggap sebagai awal dari upaya kami mendorong terbentuknya generasi yang sehat dan berkualitas,” tutur Ursulla Pradjongo ketika diwawancari via telepon, Jumat (29/10/2021).
Ursulla menuturkan, tahun 2018 lalu dia mendapat undangan dari sahabatnya, Duta Besar Amerika Serikat untuk India. Salah satu tempat yang sempat dia kunjungi, adalah fasilitas penampungan orang miskin yang dibangun oleh Mother Theresa.
Di ujung sebuah gang sempit, dia menemukan fasilitas itu berupa tiga gedung besar di atas sebidang lahan yang cukup luas. Tiga gedung, masing-masing menampung anak cacat, bayi dan anak-anak terbuang, dan para perempuan yang terbuang dari puaknya.
Ursulla pun mengaku sangat tersentuh dan merasa terpanggil untuk mencegah kondisi serupa terjadi di Indonesia. Dan bukan hanya itu, dalam salah satu kunjungan, dia sempat menyaksikan bagaimana kaum perempuan India belajar memanfaatkan ramuan herbal yang melimpah di sana.
“Saat itu, sahabat saya Duta Besar bertanya. Indonesia juga berlimpah tanaman herbal. Kenapa tidak ada yang belajar memanfaatkan? Ini makin mengusik hati saya, hingga begitu pulang saya memutuskan untuk membangun sesuatu yang berguna untuk bangsa,” ujarnya.
Lahirlah Perempuan Indonesia Belajar, yang kini menjadi Lembaga Belajar Perempuan Indonesia (LBPI) atau Ladies Study. Lembaga ini ingin menjadikan kaum perempuan sebagai tonggak kualitas dari keluarga. Nalarnya, kaum perempuan di rumah selalu menjadi teladan dan inspirasi dari anak-anaknya. Sehingga, jika kaum perempuan berkualitas tinggi, begitu pun generasi yang dilahirkannya.
Tekad dari Ursulla, ternyata mendapat dukungan dari banyak sahabat. Sejumlah perempuan pengusaha dan profesional, bersedia bergabung dan saling mengisi ruang pengetahuan. Semua materi belajar disampaikan tanpa bayaran.
“Salah satu yang disepakati di lembaga ini, kami berusaha menjauhkan rasa cinta pada uang. Anggaran kami hanya untuk makan siang, atau kebutuhan lain semacam itu. Tapi kalau menjadi pemateri atau pembicara di LBPI, tidak ada honornya,” tandas Ursulla.
Memang soal mental dan perilaku yang bisa menjadi panutan, harus dimiliki oleh setiap anggota LBPI. Karena itu, menurut Ursulla, hingga saat seluruh anggota yang berjumlah sekitar 40 orang, adalah sosok-sosok yang sengaja dia undang. Karakter lain dari LBPI adalah sangat menjunjung tinggi kebhinekaan. Perbedaan lintasa gama, budaya dan suku disikapi dengan toleransi dan saling menghargai.
Sabtu (23/10) pekan lalu, untuk pertama kalinya LBPI bisa menggelar pertemuan tatap muka, setelah sekitar 20 bulan terhenti karena pandemi Covid-19. Pertemuan di Oakwood Hotel Surabaya itu menjadi istimewa, karena ada empat orang anggota berulang tahun.
Dalam kesempatan itu, LBPI menghadirkan Sumartono Hadinoto, tokoh gerakan sosial di Solo. Sumartono menyebut para anggota LBPI adalah para perempuan sosialita yang tidak biasa.
“Apa yang melandasi kerja mereka untuk sesama manusia, adalah kecintaan mereka terhadap bangsa dan negeri ini. Ada banyak organisasi sosialita, ada banyak gerakan sosial. Namun yang dilakukan LBPI ini sungguh luar biasa dan pantas mendapat dukungan maksimal,” kata Sumartono yang didaulat oleh LBPI sebagai penasihat organisasi.