SOLO, MettaNEWS – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menolak penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) oleh KPU. Penolakan ini karena adanya banyak masalah dan eror pada teknologi tersebut.
Meski disebut hanya sebagai alat bantu dalam penghitungan, namun sesungguhnya perannya sangat menentukan.
Hal itu nyata di saat Panitia Pemungutan tingkat Kecamatan (PPK) melakukan rekapitulasi penghitungan suara. Seluruh hasil penghitungan suara disimpan dalam Srekap tanpa bisa dibuka kembali atau dicetak terlebih dahulu sebelum proses penghitungan seluruh TPS di kecamatan selesai.
“Jadi tidak ada dokumen resmi dari penyelenggara dalam bentuk apapun. Yang nanti bisa digunakan sebagai pegangan para saksi di saat akan menandatangai BA D Hasil. Padahal kita tahu, proses rekapitulasi di tingkat kecamatan paling cepat membutuhkan waktu lima hari. Selama lima hari, data penghitungan yang sudah masuk hanya disimpan di Sirekap tanpa ada yang bisa mengakses atau membuat salinan,” kata Ngadiyo, Koordinator Saksi PDI Perjuangan Kecamatan Jebres.
Ngadiyo mengatakan sesuai dengan PKPU No 5 tahun 2024 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara pada Pasal 18 ayat 3 disebutkan saksi akan mendapat kesempatan untuk memeriksa dan mencermati hasil akhir rekapitulasi tersebut. Namun, data pembanding tidak disediakan oleh penyelenggara melainkan oleh para saksi.
“Kami khawatir nanti jika menggunakan data dari masing-masing saksi dan berbeda-beda maka akan diulangi lagi proses rekapitulai dari awal,” ujarnya.
Ngadiyo mengaku sudah menghubungi Bawaslu untuk mencermati masalah ini. Namun pihaknya belum mendapatkan kejelasan sikap Bawaslu apakah mengikuti kemauan penyelenggara atau memiliki kebijakan khusus.
Ketua PAC Jebres Honda Hendarto mengaku tidak habis pikir dengan sikap KPU yang tetap bersikukuh menggunakan Sirekap sebagai satu-satunya backup data rekapitulasi. Bahkan dia menyebut sebenarnya secara de facto rekapitulasi manual tidak dipakai dalam pemilu kali ini.
“Ketika rekapitulasi satu kelurahan selesai tidak dibuatkan salinan baik hardcopy ataupun softcopy. Untuk bisa mendapatkan salinan satu kelurahan harus menunggu seluruh proses rekap di satu kecamatan selesai padahal itu memakan waktu berhari-hari. Siapa yang bisa menjamin tidak ada yang mengubah data di Sirekap karena kita semua tahu dari awal yang namanya Sirekap sudah bermasalah. La kok ini malah dipakai sebagai acuan utama,” tandasnya.
Secara teknis Honda juga mempertanyakan mekanisme pengisian form lampiran D Hasil yang berisikan hasil penghitungan suara per kelurahan.
Menurut Honda, aneh dan penuh kejanggalan mengingat PPK tidak mampu menyediakan salinan baik soft copy SIREKAP maupun print out hasil penghitungan di setiap kelurahan, tetapi nanti ketika penghitungan per kecamatan selesai setiap saksi diminta menandatangi lampiran yang memuat hasil penghitungan di setiap kelurahan.
“Ini kan aneh kalau kita tidak boleh curiga. Ada apa? Mengapa ketika satu kelurahan selesai penghitungannya, saksi tidak mendapatkan salinan apapun dengan alasan sudah disimpan di Sirekap dan Sirekap tidak bisa dibuka sampai rekap PPK selesai dan saat itu baru muncul rekap per kelurahan,” tegasnya lagi.