Tergerus TikTok Shop, Pedagang Pusat Grosir Solo: Kondisinya Sama Kayak Tanah Abang, Omzet Hancur

oleh
TikTok
Sepinya Pusat Grosir Solo (PGS) dan pedagang yang menunggu datangnya pembeli di antara kios-kios kosong, Rabu (27/9/2023) | Magang UNS / Kahfi Harahap

SOLO, MettaNEWS – Sejumlah pedagang di Pusat Grosis Solo (PGS) mengaku terdampak dengan adanya TikTok Shop yang merajalela beberapa waktu ini.

Salah seorang pedagang, Danik mengatakan kondisi PGS saat ini hampir sama dengan Tanah Abang di Jakarta Pusat. Yang mana pasar tekstil terbesar se-Asia Tenggara itu kehilangan hampir 5.000 pengunjung.

Kondisi cukup memprihatinkan di PGS terjadi sejak 2 bulan terakhir. Tepatnya setelah Lebaran Kurban 2023 dan libur sekolah berlalu.

“Sama aja sepi kayak di Tanah Abang sejak 2 bulan terakhir ini. Iya kalau dulu ya biasa pengunjungnya, sekarang nggak begitu (banyak),” ujar Danik kepada Mettanews.

Menjamurnya social e-ccomerce atau toko digitial membuat pedagang offline sepertinya kesulitan menawarkan barang secara langsung ke pembeli. Proses tawar menawar dengan harga tak wajar pun kerap ia terima.

Tak sedikit pengunjung yang justru membandingkan harga yang dijual pedagang PGS dengan toko digital. Padahal toko digital kebanyakan menerapkan praktik predatory pricing (jual rugi).

Sebagai informasi praktik predatory pricing merupakan strategi yang dilakukan pelaku usaha dalam menjual produk atau jasa dengan harga sangat murah demi mengalahkan kompetitor.

“Ya karena online shop itu, harganya kan menjatuhkan seumpama sini harganya Rp 50 ribu, sana itu cuman Rp 25 ribu sampai Rp 30 ribu. Jadi beda separuh  terus kadang kalau yang ke sini itu nawarnya kayak yang di TikTok. Padahal kan nanti bahannya yang beda jahitannya beda, pembelinya kekeh sama terus minta murah,” ujarnya.

Melansir dari Investopedia, praktik predatory pricing banyak diterapkan untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar. Dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing masuk ke dalam pasar yang sama.

Pedagang offline mencoba bersaing pun sangat sulit. Harga yang dirasa tak wajar dan minim keuntungan membuat Danik pasrah. Sekalipun menjual barang secara online, ia hanya menawarkan dagangannya lewat story Whats’App. Cara ini pun tak begitu banyak menghasilkan.

Danik pun enggan mencoba menjual dagangannya lewat TikTok Shop. Menurutnya cara ini lebih rumit.

“Nggak mau nyoba TikTok Shop, sudah capek jualan. Sama kadang nggak PD (percaya diri-red) gitu kalau mau membuat konten di TikTok. Itu kalau onlinenya cuma dari story WA nanti teman-teman order,” terang dia.

Dagangan Danik yang didominasi kulot, legging, bawahan rok, jilbab, jilbab anak, seragam sekolah, gamis dan mukenah mengalami penurunan omzet.

“Kalau 2 bulan terakhir ini, hari-hari biasa di bawah target. Kira-kira ya Rp 500 ribu – Rp 600 ribu, tapi kalau hari Sabtu sampai Minggu itu kadang Rp 2 juta kadang Rp 1 juta. Ya kalau sebelumnya itu kadang hari biasa itu bisa sampai Rp 2 juta Rp 3 juta gitu,” bebernya.

Sambut Riang Larangan Jualan di TikTok Shop

TikTok
Pedagang Pusat Grosir Solo (PGS) tertidur menunggu datangnya pembeli, Rabu (27/9/2023) | Magang UNS / Kahfi Harahap

Ia pun menyambut baik dengan regulasi yang dibuat pemerintah menyoal larangan transaksi langsung dan hanya boleh mempromosikan barang maupun jasanya di social e-commerce salah satunya TikTok Shop.

Larangan ini tertuang dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

“Ya tetap bertahan, katanya udah dilarang TikToknya. Ya senang sih mbak nanti kan di sini bisa ramai lagi, Tanah Abang bisa ramai lagi. Nggak harus online itu, tapi sebenarnya kalau onlinekan bisa sama -sama membantu menghasilkan,” kata Danik.

Kendati demikian, menurut Danik apabila pemerintah tidak mengambil langkah lebih tegas maka nasib pedagang offline akan tergerus habis.

“Ya bakalan jatuh, kalau tidak ada tindakan lama-lama jatuh,” pungkasnya.

Salah seorang pedagang yang tak ingin disebut namanya juga mengakui kondisi PGS saat ini sepi pengunjung. Kondisi ini terjadi usai pandemi Covid-19 melanda. Omzet yang ia dapatkan juga merosot jauh.

Amblek pendapatannya, biasanya sebulan itu paling bersih Rp 100 juta, Covid itu lho Ya Allah cari uang Rp 15 juta Rp 20 juta itu sangat sulit apalagi awal tahun 2023 ini amblek blek blek hancur tenan,” terangnya.

Menurutnya regulasi terbaru dari pemerintah tidak bisa menjadi solusi untuk meningkatkan penjualan pedagang offline. Masyarakat kini telah terbiasa belanja melalui online terlebih dengan harga yang ditawarkan lebih murah.

“Wah itu sudah tidak pengaruh (larangan jualan social ecommerce-red). Di sini ya memang sesepi itu bukan karena apa-apa sepi. Pokoknya sangat-sangat sulit cari pembeli juga tidak ada dateng kaya begini,” pungkasnya.

Wakil Wali Kota Solo, Teguh Prakosa ikut menyoroti problematika yang muncul akibat toko digital. Ia menegaskan bahwa masyarakat harus mengikuti regulasi dari pemerintah.

“Ini yang harus diikuti oleh kita semua selaku pengawal regulasinya dan tidak ada yang harus dirugikan pedagang pasar maupun online. Apapun saya kira ini yang perlu kita jaga semuanya supaya bangunan yang sudah jadi Klewer Pasar Gede tidak mangkrak lagi,” ujar Teguh.