
SOLO, MettaNEWS – Tradisi Malem Selikuran, rutin berlangsung di lingkungan Keraton Surakarta untuk menyambut malam Lailatul Qadar. Tradisi ini konon sudah ada sejak pemerintahan Sultan Agung. Namun, di era Paku Buwono X tradisi ini memuncak menjadi pesta rakyat.
“Mataram Islam sudah pasti memaknai sangat tinggi Lailatul Qadar, yakni saat turunnya ayat suci Al Qur’an. Maka Keraton mengadakan peringatan sebagai tanda kemuliaan. Ini sudah ada sejak Sultan Agung, tapi di Surakarta mencapai puncaknya pada era SISKS Paku Buwono X,” tutur KGPH Adipati Dipokusumo, salah satu putra almarhum PB XII.
Dipokusumo yang juga mengampu jabatan Pengageng Parentah Keraton di bawah SISKS PB XIII memaparkan, tahun ini hajad dalem Malem Selikuran jatuh pada Selasa (11/4/2023) atau malam Rabu Pon.
Saat memperingati Malem Selikuran, Keraton mengeluarkan seribu tumpeng kecil yang dan mengeraknya dengan meriah. Ratusan abdi dalem akan membawa lampion alias ting, dari dalam Keraton hingga Taman Sriwedari. Tentunya, mereka bersama pengawal prajurit kehormatan dengan busana beraneka warna.
Seribu tumpeng yang berisi nasi gurih dengan beberapa macam lauk. Di antaranya kedelai hitam, mentimun dan rambak (kerupuk kulit sapi) tersaji dalam takir (mangkuk dari daun pisang). Tak seperti kirab tumpeng lain yang menggunakan jodang kayu, khusus Malem Selikuran tumpeng menggunakan tandu dari kuningan.
“Lampu ting atau lampion melambangkan cahaya obor dari para sahabat saat mereka menjemput Kanjeng Nabi Muhammad pulang dari menerima wahyu di Jabal Nur. Sedangkan seribu tumpeng, adalah lambang pahala seribu bulan,” ucap Dipokusumo.
Malem Selikuran Pernah Terhenti
Selama seabad lebih, tradisi Malem Selikuran terus berlangsung. Wong Solo menyambut perayaan Islami yang bersolek dalam kemeriahan pesta rakyat. Terlebih di masa lalu kirab akan berakhir di Taman Sriwedari yang menyelenggarakan pasar malam sebulan penuh.
Namun, tradisi ini sempat berubah. Kirab Malem Selikuran selama beberapa waktu menjadi lebih singkat. Rutenya hanya dari dalam Keraton hingga Masjid Agung. Di sana, tumpeng mendapat berkat doa dari para ulama, yang kemudian membagikannya kepada warga dan abdi dalem.
Bahkan, sewaktu pandemi Covid-19 merebak, tradisi ini terpaksa tidak berlangsung.
“Nanti malam, tradisi ini akan hidup kembali. Rutenya dari Keraton akan berakhir di Kupel Segaran Taman Sriwedari,” pungkasnya.