Glorifikasi Pelaku Kekerasan Seksual: Media atau Masyarakat yang Sakit?

oleh
oleh
Terduga operator seks siber webcam anak David Timothy Deakin, dari Peoria, Illinois. Sejumlah pihak di Indonesia menilai tayangan kebebasan mantan pelaku kejahatan seksual amat menyakitkan. (Foto: AP)

JAKARTA, Metta NEWS  – Televisi Indonesia sepi dari perayaan kemenangan atlet difabel dalam Paralimpiade Tokyo 2020, yang mempersembahkan dua emas, tiga perak dan empat perunggu. Seorang pelaku kekerasan seksual pada anak yang bebas dari penjara, justru dielu-elukan.

Beberapa aktivis dan akademisi Indonesia menyoroti kasus viral yang tengah terjadi di masyarakat yakni berita kebebasan SJ yang tersandung kasus hukum pelecehan seksual pada anak di bawah umur. Dikutip dari www.voaindonesia.com/a/glorifikasi-pelaku-kekeraan-seksual-media-atau-masyarakat-yang-sakit-/6215710.html, Perempuan difabel aktivis sosial dan juga tenaga ahli Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat, Anggiasari Puji Aryatie melihat kontradiksi yang tengah viral pekan ini. 

Di satu sisi, para atlet Paralimpiade di Tokyo menunjukkan perjuangan dan bertanding secara luar biasa. Mereka mempersembahkan yang terbaik bagi bangsa di bidang olahraga, setelah latihan panjang bertahun-tahun. Di sisi lain, tak banyak ulasan untuk merayakan capaian itu.

“Prestasi mereka justru jarang terdengar, karena kalah oleh pemberitaan yang sensasional. Kalau kita dengar, seseorang yang bebas dari hukuman akibat kejahatan kekerasan seksual pada anak, justru oleh beberapa kelompok masyarakat, pembebasannya dielu-elukan. Ini tidak sebanding,” kata Anggie.

Melihat apa yang terjadi, kata Anggie, nampaknya masyarakat harus lebih banyak belajar melihat isu kemanusiaan sebagai prioritas. Kasus ini, ujarnya, juga menjadi pembelajaran bagi semua, ketika seorang pelaku kejahatan seksual kepada anak menyita perhatian hanya karena statusnya sebagai selebriti.

“Kita juga semakin yakin, pemulihan korban kekerasan seksual pada anak lelaki dan perempuan harus menjadi prioritas untuk melindungi masa depannya. Itu sebabnya, kita perlu mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” tambahnya.

Masyarakat Tanpa Sanksi Sosial

Sosiolog yang juga kriminolog dari Universitas Gadjah Mada, Suprapto menyampaikan dalam kasus semacam ini, tokoh politik yang melakukan korupsi atau artis yang melanggar hukum, bisa dengan mudah kembali menjalani karirnya seperti semula. Seolah-olah, tidak ada kesalahan yang pernah dia lakukan, sehingga dia wajar tidak menerima sanksi sosial dari masyarakat. Menurut Suprapto, karena pengaruh kekuasaan ekonomi maupun popularitas pelaku kejahatan, masyarakat menunjukkan respons yang ‘biar’. Sikap mereka berbeda, ketika pelaku adalah warga biasa.

“Tentunya, kita tidak hanya membicarakan kasus yang sedang kita lihat saat ini. Tetapi juga tokoh atau selebriti lain yang melakukan hal-hal serupa. Dia misalnya, lepas dari proses hukum atau keluar dari penjara, kemudian mudah saja kembali lagi,” tambah dosen yang baru saja pensiun setelah 38 tahun mengajar di UGM ini.

Faktor kedua, meminjam teori yang dikembangkan pakar dari Amerika Serikat, Walt Whitman Rostow, kata Suprapto, masyarakat Indonesia mengalami lompatan yang mempengaruhi tingkat kedewasaan emosional dan sosial.

Menurut Rostow, ada lima tahap perkembangan masyarakat, yaitu tradisional, prakondisi menuju lepas landas, lepas landas, menuju kedewasaan dan era konsumsi massa tinggi. Menurut Suprapto, masyarakat Indonesia melompat dari era lepas landas langsung masuk ke era konsumsi massa tinggi.

“Akibatnya, kecerdasan emosinya rendah, sehingga mudah dipengaruhi media, bukan saja media resmi tetapi juga informasi dari media sosial. Kita tidak sempat menapaki tahap pendewasaan, sehingga sangat mudah dipengaruhi oleh siapa yang lebih banyak bicara,” kata Suprapto.

Suprapto berharap media di Indonesia mau berubah, dan menempatkan kasus-kasus yang menjadikan anak-anak sebagai korban, dalam perhatian khusus. Sikap ini sangat penting terutama untuk memberikan dukungan kepada para korban.

Menyakitkan Bagi Korban

Pengajar dan Konselor di Jurusan Bimbingan dan Konseling, Universitas Negeri Semarang, Mulawarman, menilai tayangan kebebasan Saipul Jamil itu akan sangat menyakitkan bagi korbannya.

“Ini menjadi warning, bahwa glorifikasi seperti ini dianggap sebagai dukungan terhadap perbuatan yang dilakukan pelaku, yang itu dianggap sudah selesai. Padahal banyak hal yang diderita oleh korban. Kita tidak mengerti bahwa korban ini bisa saja mengalami dampak psikologis yang sangat serius,” kata Mulawarman kepada VOA.

Korban dalam analisa Mulawarman, tidak terbatas pada korban dalam kasus Saipul Jamil. Dalam kasus lain yang serupa, kata Mulawarman, setiap korban berpotensi menderita depresi, mengalami gangguan kecemasan, dan gangguan-gangguan pasca traumatik karena kejahatan pelaku. Dampak itu tidak mudah dihilangkan.

“Di beberapa riset atau hasil penelitian, justru banyak yang mengarah atau punya kecenderungan untuk suicide, atau upaya-upaya untuk bunuh diri,” lanjutnya.

Dalam kasus semacam ini, korban merasa malu. Namun yang lebih menyakitkan lagi, lewat glorifikasi pelaku di televisi, korban merasa bahwa dia dinilai tidak lebih penting dan tidak lebih diperhatikan daripada pelaku. Kecenderungan secara umum, tambahnya, konsentrasi masyarakat dalam kasus-kasus kekerasan seksual, memang lebih banyak ditujukan kepada pelaku.