Transmisi Tradisi Bali Dalam Menjaga Warisan Budaya di Tengah Tantangan Zaman

oleh
Bali
Ilustrasi Bali | Dok. Google Maps

BALI, MettaNEWS – Tradisi Bali yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari warganya tidak berlangsung secara alami, melainkan dijaga melalui mekanisme sosial yang terus diwariskan lintas generasi. Namun, keberlanjutan budaya ini kini menghadapi tantangan modernisasi dan derasnya pembangunan pariwisata.

Salah satu pilar utama adalah banjar, komunitas adat yang menjadi pusat aktivitas sosial dan budaya. Di Banjar, warga bergotong royong menyiapkan berbagai upacara, mulai dari odalan pura hingga melasti. Generasi muda terlibat aktif melalui organisasi Seke Teruna Teruni (STT) yang mewadahi latihan gamelan, tari, hingga pembuatan ogoh-ogoh dan layang layang

“Banjar sebenarnya adalah pilar budaya di Bali. Jika banjar hilang, Bali tidak akan ada lagi seperti sebelumnya,” kata Kadek Suprapta Meranggi, pembuat layang-layang asal Sanur.

Selain Banjar, tradisi diwariskan melalui keluarga dan komunitas perajin. Perajin perak Celuk, pelukis Kamasan, hingga pengukir kayu Mas melestarikan keterampilan melalui transfer pengetahuan antar-generasi. Namun, sebagian generasi muda kini lebih memilih profesi modem yang dianggap lebih menjanjikan..

Meski begitu, adaptasi budaya tetap dilakukan. Beberapa banjar kini memanfaatkan grup WhatsApp untuk koordinasi, bahkan mengadakan kompetisi gim daring guna menggalang dana bagi kegiatan adat

Menurut Kadek, kunci pelestarian budaya Bali adalah menanamkan kebanggaan sejak dini.

“Kalau anak-anak tumbuh dengan rasa bangga terhadap budayanya, mereka pasti akan menemukan cara untuk melestarikannya, apa pun tantangannya,” katanya.

Di sisi lain, derasnya pembangunan pariwisata dinilai berpotensi menggerus fondasi budaya. Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana, Prof. Dr. I Putu Anom, menyoroti maraknya hotel, vila, dan glamping di bantaran sungai serta tebing yang dinilai menyalahi aturan tata ruang. Kondisi itu juga memicu masalah lingkungan, termasuk banjir bandang.

“Pembangunan harus dihentikan, terutama di kawasan hulu hutan hutan yang banyak ditebang Bangunan yang sudah berdiri perlu dievaluasi izinnya,” tegasnya.

Prof. Anom juga menyoroti persoalan sampah di TPA yang dinilai belum tertangani serius. Menurutnya, koordinasi antara pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten harus lebih terukur agar persoalan lingkungan tidak merusak citra Bali sebagai destinasi wisata internasional.

Hal senada disampaikan akademisi pariwisata Nyoman Sukma Arida. la menilai pembangunan akomodasi berlangsung tanpa kendali.

“Semestinya angka ketercukupan akomodasi pariwisata itu dijawab lewat riset yang serius. Saat ini kesannya serba boleh, obral izin melabrak RT RW,” ujarnya.  (Alif Noor Pratama/Magang Ilkom/UNISRI).