SOLO, MettaNEWS – Kini muncul fenomena job hugging ini menggambarkan kecenderungan pekerja bertahan di satu pekerjaan, meski sudah tidak merasa puas atau termotivasi.
Ketidakpastian ekonomi global, ancaman PHK massal, serta terbatasnya lapangan kerja membuat banyak pekerja memilih bertahan ketimbang mengambil risiko di tempat baru.
“Mencari pekerjaan baru memiliki risiko tinggi, maka mereka cenderung memilih bertahan,” ungkap Guru Besar Fisipol UGM, Prof. Tadjuddin Noer Effendi Menurutnya.
Situasi pasar kerja lima tahun terakhir memang tidak menentu. Tingginya angka pengangguran (mencapai 7,4 persen tertinggi di Asia Tenggara), daya beli yang melemah, serta laju ekonomi yang melambat menjadi faktor utama mengapa pekerja enggan berpindah.
Tadjuddin menyebut alasan dominan dari job hugging adalah kebutuhan akan keamanan finansial dan stabilitas. Banyak orang menilai lebih aman mempertahankan pekerjaan saat ini, meski tidak ideal, daripada menghadapi ketidakpastian di tempat baru la menganalogikan kondisi ini dengan pepatah: “Berharap burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan.”
Selain bertahan, sebagian pekerja memilih jalan pintas dengan menambah pekerjaan sampingan seperti freelance atau bisnis kecil-kecilan untuk menambah penghasilan.
Fenomena tren global serupa juga terjadi di Amerika Serikat. Data menunjukkan tingkat pengunduran diri sukarela pada awal 2025 hanya 2 persen, level terendah dalam hampir satu dekade. Survei ZipRecruiter bahkan mencatat 38 persen pekerja ragu dengan ketersediaan lowongan kerja baru, naik dari 26 persen tiga tahun lalu.
Ciri-Ciri Job Hugging
Mengutip Forbes, beberapa tanda seseorang mengalami job hugging diantaranya ialah menolak tawaran kerja baru meski tidak puas dengan pekerjaan saat ini, enggan mengembangkan keterampilan atau memperluas jaringan profesional, memilih zona nyaman dan menghindari tantangan baru. Terus-menerus merasa bosan atau kelelahan namun tetap bertahan dan bingung dalam plihan rasional atau jebakan karier.
Plus Minus Job Hugging
Meski memberi rasa aman, job hugging punya sisi negatif. Pekerja bisa kehilangan peluang kenaikan gaji maupun pengembangan karier. Dalam jangka panjang, hal ini berisiko menimbulkan stagnasi, burnout, hingga menurunkan daya saing.
Menurut Psikolog, Dr. Kaitlin Harkess mengingatkan tanda-tanda job hugging yang tidak sehat antara lain rasa bosan berkepanjangan, frustrasi, cemas, hingga gejala fisik seperti sulit tidur atau sakit kepala.
“Jika Anda sering berkata, ‘Saya akan pergi kalau bisa, tapi saya tidak bisa, itu tanda job hugging sudah berubah menjadi job trapping,” jelasnya.
Para pakar menilai, bertahan di satu pekerjaan bukan selalu hal buruk jika didasari pertimbangan matang, misalnya demi stabilitas keluarga atau mengejar passion. Namun, jika hanya dilatarbelakangi rasa takut dan minim motivasi, job hugging bisa menjelma jadi jebakan karier. (Alif Noor Pratama/Magang Ilkom/UNISRI).







