Menyaksikan Akulturasi Budaya Jawa dan Tionghoa Lewat Tradisi Umbul Mantram

oleh
umbul mantram
Jodang wadon dan jodang lanang dalam kirab Umbul Mantram melewati Tugu Jam Pasar Gede yang berhiaskan lampion, Kamis (16/1/2025) | MettaNEWS / Adinda Wardani

SOLO, MettaNEWS – Mengawali rangkaian Grebeg Sudiro, event tahunan Umbul Mantram digelar pada Kamis, (16/1/2025) malam. Acara yang kental akan campuran budaya Jawa dan Tionghoa ini diikuti oleh ratusan masyarakat Kampung Sudiroprajan. Kampung yang terkenal sebagai kampung pecinan di Kota Solo.

Kirab menjadi acara utama Umbul Mantram. Pantauan Mettanews, ratusan masyarakat Sudiroprajan berbaris mengenakan pakaian tradisional Jawa seperti kebaya, lurik, beskap dan pakaian khas Tionghoa.

Pukul 19.00 WIB, mereka berjalan mengikuti rute kirab dimulai dari Kelurahan Sudiroprajan melewati permukiman lalu berhenti di Bok Teko untuk doa syukur oleh sesepuh Sudiroprajan. Selanjutnya kirab melewati Tugu Jam Pasar Gede, Klenteng Tien Kok Sie dan berakhir di Kelurahan Sudiroprajan.

Dalam kirab itu, peserta berjalan membawa air suci, obor, hingga jodang atau tandu yang berisi makanan. Ada dua jodang yakni jodang wadon (perempuan-red) berisi hasil bumi, seperti sayuran dan buah-buahan. Sementara jodang lanang (laki-laki-red) berisi makanan khas Sudiroprajan seperti jajanan pasar.

Saat rombongan kirab kembali ke Sudiroprajan, tumpeng, ubarampe, dan jodang didoakan. Para tokoh masyarakat kemudian menabur benih biji-bijian dan melepas burung juga ayam. Setelah itu masyarakat mulai berebut jodang wadon dan jodang lanang. Acara ditutup dengan makan bersama dengan masayarakat.

Umbul Mantram merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan keselamatan yang telah diberikan kepada seluruh warga Kampung Sudiroprajan.

“Semua kegiatan grebeg dimulai dengan midodareni, bahwa kita memulai sesuatu itu dengan doa. Di sini doa Jawa ditambah dengan doa-doa Islam dan yang lainnya. Ini adalah bagian dari tradisi nguri-uri budaya di Kelurahan Sudiroprajan yang masuk dalam agenda Nasional yang terus dilestarikan,” ujar Wali Kota Solo, Teguh Prakosa.

Sebagai kota toleransi yang tidak bisa terpisahkan dari perbedaan, Teguh ingin masyarakat dapat menjaga dan menguri-uri budaya dan tradisi termasuk akulturasi.

“Kita harus menghargai dan menghormati semua umat yang agama, suku dan warna kulit yang berbeda. Karena itu yang menjadi keunggulan Kota Solo. Kalau itu dilakukan dengan baik maka akan menarik perhatian, tidak hanya masyarakat Soloraya namun masyarakat luas,” tukasnya.