SOLO, MettaNEWS – Penyakit tuberkulosis atau TBC menjadi ancaman laten bangsa Indonesia. Seperti fenomena gunung es, jumlah penderita TBC terindikasi lebih besar dari data yang tercatat. Ancaman TBC ini menjadi perhatian khusus Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS).
Guru Besar FK UNS, Prof. Dr. dr. Reviono, Sp.P(K) bersama Dr. dr. Bobby Singh, Sp.P., M.Kes., FISR, FAPSR meluncurkan buku ‘Sitokin dan Kemokin: Biomarker Tuberkulosis Laten. Peluncuran buku tersebut berlangsung di UNS Inn, Minggu (19/3/2023).
Turut hadir dalam acara mantan Dirjen Kemenkes, Prof. Dr. dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K); Ketua Pengurus Pusat PDPI, Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K). Ketua Tim Kerja Tuberkulosis (TB) Kemenkes, dr. Tiffany Tiara Pakasi; Perwakilan Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia: dr. Lily Sri Wahyuni Sulistyowati. Dan Konsil Kedokteran Indonesia, dr. Vonny Nouva Tubasgu, Sp.Rad(K).
Prof. Reviono yang juga merupakan Dekan FK UNS menyebutkan bahwa hal ini merupakan salah satu bentuk produk dari S-3 Ilmu Kedokteran UNS.
“Buku ini berisi tentang tuberkulosis laten sebagai bagian dari eliminasi tuberkulosis Indonesia di tahun 2035 mendatang. Targetnya, tinggal 10% atau mengalami reduksi 90% penderita TB sejak 2015 dan angka kematiannya juga berkurang hingga 95%,” jelasnya pada wartawan.
Lebih lanjut, Ia menjelaskan masuknya kuman patogen TB menjadi awal penyakit TB. Pada sebagian besar host akan merespon secara adekuat oleh sistem imun host. membatasi pertumbuhan bakeri, dan mencegah terjadinya infeksi. Tidak semua orang yang terpajan patogen TB akan berkembang menjadi penyakit TB.
“Sekitar 30% orang yang terpajan kuman TB akan terinfeksi TB, sementara 70% tidak terinfeksi. Dari pasien yang terinfeksi TB, sekitar 5% akan berkembang menjadi TB aktif dalam 1 tahun pertama infeksi. Dan 95% mengalami infeksi TB laten. Setelah 1 tahun, sekitar 3-5% pasien dengan TB laten akan berkembang menjadi TB aktif dan sisanya akan tetap memiliki TB laten sepanjang hidup,” tambahnya.
Dr. dr. Bobby Singh menuturkan bahwa dengan adanya temuan dan kebaruan ini, pihaknya berharap dapat menjadi upaya dalam memberantas kasus TB di Indonesia.
“Melalui Sitokin dan Kemokin ini, semoga yang selama ini buat tes mahal, harapan kami bisa lebih murah dan efektif,” tuturnya.
Tuberkulosis Bahaya Laten Indonesia
Sementara itu, Prof. Dr. dr. Tjandra Yoga Aditama menuturkan bahwa TB laten merupakan kondisi ketika orang-orang yang tidak sakit atau tidak bergejala, tetapi dalam tubuhnya terdapat kuman TB. Hal tersebut menjadi salah satu hal yang membuat TB sulit dieliminasi. Ia juga mengapresiasi atas temuan baru FK UNS untuk mendiagnosis TB laten ini.
Apresiasi juga datang dari Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto selaku Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).
“Saya merasa bangga atas hasil temuan teman-teman FK UNS. Sebenarnya, TB sudah menjadi masalah di Indonesia sejak lama. Oleh karena itu diperlukan juga peran dari para dokter paru. Salah satunya dengan peluncuruan buku yang kami harap dapat membantu dalam penanganan TB di Indonesia,” tuturnya.
Ketua Tim Kerja Tuberkulosis (TB) Kemenkes, dr. Tiffany Tiara Pakasi turut menjelaskan mengenai tiga masalah besar bagi Indonesia dalam memerangi kasus TB. Pertama, Indonesia saat ini menduduki peringkat 2 dunia berdasarkan perkiraan jumlah kasus TB di dunia.
“Kedua, minum obat TB perlu waktu yang lama dan konsisten. Kadang, pasien pada tengah-tengah pengobatan sudah merasa sehat sehingga tidak melanjutkan minum obat. Ini yang perlu kita ingatkan lagi ke masyarakat untuk menyelesaikan pengobatan. Kita juga masih punya masalah infeksi TB laten. Yang kalau tidak segera selesai bisa menjadi TB aktif dan akan terus berjalan menjadi lingkaran setan,” jelasnya.
Lily Sri Wahyuni Sulistyowati juga menuturkan bahwa TB laten dapat menjadi salah satu faktor penularan. Ia berharap melalui temuan ini, dapat menurunkan jumlah kasus TB di Indonesia.
Selanjutnya, Konsil Kedokteran Indonesia, dr. Vonny Nouva Tubasgu, Sp.Rad(K) menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang, termasuk juga ilmu kedokteran.
“Saya menyambut gembira adanya biomarker TB laten ini. Saya berharap, dengan pemeriksaan ini bisa lebih akurat, sensitif, dan bisa digunakan untuk menjangkau masyarakat luas. Harapannya, jika jangkauan luas, bisa lebih signifikan dalam menurunkan penularan TB di Indonesia,” jelas dr. Vonny.