SOLO, Metta NEWS – Sejak abad ke 17 Keraton Surakarta dan Yogyakarta menentukan pranata penggunaan batik. Pada tahun 1769, Susuhan Keraton Surakarta Hadiningrat mengeluarkan satu keputusan formal (Jawa:Pranatan) motif Batik ‘Jilamprang’ dilarang dipakai oleh siapapun kecualsi Susuhan sendiri dan putra-putrinya.
Sejarawan Universitas Sebelas Maret, Sudarmono pernah menuliskan, pada tahun 1785 Sultan Yogyakarta mencanangkan pola parang rusak bagi keperluannya pribadi. Kemudian pada tahun 1792 dan 1798 lewat pengageng keraton mengeluarkan pembatasan-pembatasan selanjutnya atas pola-pola yang dipakai untuk keperluan tertentu dilingkungan kraton, yaitu menunjuk beberapa corak seperti: sawat lar, parang rusak, cumengkirang dan udan liris.
Menurut Dosen ISI Surakarta Prof. Dr. Dharsono, MSn., pada abad tersebut keraton Surakarta dan Yogyakarta membuat satu pranata batik-batik dengan motif tertentu hanya bisa dipakai oleh raja dan sentana dalem.
“Misal Batik Parang seperti Parang Kusumo, Parang Tritik atau Parang Rusak itu hanya bisa dipakai oleh keluarga raja. Contoh lain misal Batik Kembang Kacang, Batik ini adalah busana resmi rakyat, namun untuk raja menjadi pakaian harian raja,” paparnya saat ditemui di studio miliknya di Jaten Karanganyar.
Perkembangan batik di daerah Surakarta dan sekitarnya lanjutnya, mulai mencapai kejayaannya sekitar awal abad XX, atau seputar tahun 1930 hingga 1960. Hal itu bisa dilihat pada daerah-daerah sumber batik, yang pada saat itu merupakan daerah induk batik di Surakarta.
“Daerah itu terletak di Daerah Bekonang Kecamatan Mojolaban, Kedunggudel, Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo, Matesih Kecamatan Matesih Kabupaten Karanganyar, Laweyan Surakarta, dan Tembayat Kabupaten Klaten. Daerah tersebut adalah merupakan kunci perkembangan batik saat itu,”paparnya.
Dharsono menambahkan, seputar tahun 1978-an, proses-proses tradisional dari produksi batik daerah telah mendapat tekanan yang hebat dari teknologi mencetak yang modern. Perubahan teknis ini berpengaruh pada tingkat penempatan tenaga kerja dalam industri. Batik daerah pun mulai jatuh dan bangkrut, kemudian diganti oleh batik printing atau batik meteran pabrikan
“Ya setelah kemerdekaan kan selesai, karena sudah tidak ada kerajaan. Sekarang yang muncul adalah Batik Budaya Populer dimana proses pembuatan batik ini sudah tidak berpikir tentang estetika tapi berpikir tentang laku atau tidak,”ungkapnya.