SOLO, MettaNEWS – Sekitar 30 mobil, beberapa di antaranya jip terbuka, berjajar di depan panggung yang tak berapa besar. Kesunyian area di tepi Bengawan Solo, Kamis (7/10) semalam pecah oleh terang lampu dan suara dari sound system berkualitas bagus. Gelaran seni tahunan Kota Solo, SIPA (Solo International Performing Arts) 2021 dimulai.
“Malam ini SIPA 2021 yang sudah 13 kali diadakan, digelar dengan sejumlah pembatasan-pembatasan karena masih suasana pandemi. Jadi lokasinya sengaja memilih Taman Satwa Taru Jurug yang di pinggir kota, agar tidak timbul kerumunan, serta penonton hadir secara drive-in,” tutur Direktur SIPA, Irawati Kusumorasri.
Dengan penonton dan tamu undangan yang total tak lebih dari 100 orang, itu pun tersekat-sekat di dalam mobil, menonton pentas hari pertama terasa asyik. Penonton leluasa menikmati tanpa “gangguan” keriuhan di sekitarnya.
“Asyik. Seperti nanggap sendiri, kita bisa nonton dengan tenang. Kalau capek di dalam mobil, bisa keluar dan duduk selonjoran di area parkir yang seluruhnya paving,” ujar Ratri, salah satu penonton yang beruntung bisa mendapatkan tiket SIPA melalui aplikasi tiket.com.
Hari pertama, setelah seremonial pembukaan yang dihadiri Wakil Wali Kota Solo Teguh Prakosa, segera tampil Maskot SIPA 2021, Endah Laras. Diiringi penampilan sejumlah penari dari Semarak Candrakirana dan Komunitas Mantra Gulakelapa, sang artis multitalenta itu mengawali pentas dengan sebuah tembang macapat Dandanggula.
Ana kidung rumeksa ing wengi, konon syairnya digubah oleh Sunan Kalijaga sebagai doa penolak bala, penghalau anasir-anasir jahat. “Gumregah, ayo sengkut gumregut makarya bareng, warga lan pemerintahe. Gusti nyuwun kiat (ayo bangkit, berkarya bersama rakyat dan pemerintahnya. Gusti mohon memberi kekuatan),” tutup Endah Laras memanjatkan doa.
Penampilan kedua, sajian dari 567Eight Dance Community Solo. Berkostum sederhana, hanya jins dan baju putih, sekitar dua lusin anak muda menggelar tarian kontemporer Ramayana Urban.
Ini sendratari Ramayana, dengan alur cerita yang sudah dikenal luas, namun disajikan ala anak muda. Gerakannya serba sederhana dan rancak dibalut music yang pas. Memang dari dan untuk anak muda.
Disusul dari Belanda, musik apik dari musisi jazz Tom Van deer Zaal. Sayangnya hanya melalui video, itu pun di menit-menit pertama ada gangguan suara yang cukup mengganggu. Meski demikian, secara keseluruhan orchestra yang didominasi suara saxophone ini cukup membuai penonton.
Lalu ada sajian dari Kabupaten Bireun, Aceh. Sekelompok penari kontemporer tampil dengan buasana khas Aceh. Sayangnya, Bupati Bireun Muzakkar A Gani yang mengantarkan kehadiran delegasi ini di Solo, tak memaparkan apa tema tarian tersebut.
Tensi pentas Kembali naik, saat Maskot SIPA 2016 Peni Candrarini menapak panggung. Diantar sejumlah penabuh gamelan, suaranya apik melantunkan kidung yang agak sulit diikuti liriknya.
Namun, sebelum pentas, pesinden kelas internasional ini sudah mengumumkan, dia dan para pengrawit dari Jagad Sentana Art akan melantunkan kidung dan puisi tentang hakikat manusia.
“Tentang mengapa kita lahir, apakah kita sudah layak disebut manusia, dan semua tentang hakikat kemanusiaan,”tuturnya.