SOLO, MettaNEWS – Industri alat kesehatan dalam negeri tengah menghadapi tekanan serius di tengah kondisi ekonomi nasional yang belum stabil. Dalam upaya mencari solusi dan memperkuat daya saing industri alat kesehatan nasional, Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (ASPAKI) dan Himpunan Perusahaan Alat Kesehatan dan Laboratorium Kesehatan Indonesia (HIPELKI) bekerja sama dengan Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret (FT-UNS) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Inovasi Alat Kesehatan Nasional: Analisis Komprehensif Kendala, Tantangan dan Peluang” di Gedung 3 FT-UNS, Surakarta.
Kegiatan ini menghadirkan sejumlah pemangku kepentingan dari kalangan industri, akademisi, hingga pembuat kebijakan. FGD tersebut menjadi wadah untuk membedah persoalan industri alat kesehatan dalam negeri yang kian terjepit oleh dominasi produk impor, ketidakpastian regulasi, hingga lemahnya dukungan terhadap produk lokal.
Ketua Umum ASPAKI Imam Subagyo dalam diskusi menyatakan bahwa tahun 2025 menjadi salah satu tahun paling menantang bagi pelaku industri alat kesehatan di Indonesia.
“Efisiensi belanja pemerintah yang menyebabkan penyusutan pangsa pasar lokal dan masuknya produk impor dalam skala besar membuat posisi produk dalam negeri semakin terpinggirkan. Di tengah melemahnya pasar domestik, industri dituntut mampu berekspansi ke pasar ekspor – dan hal itu, menurut ASPAKI, hanya bisa tercapai dengan inovasi yang berkelanjutan,” tandasnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Teknik UNS sekaligus peneliti industri alat kesehatan, Prof. Dr. Ir. Wahyudi Sutopo, S.T., M.Si., IPU, menggarisbawahi sejumlah tantangan struktural yang menghambat tumbuhnya inovasi di sektor ini.
“Struktur rantai pasok industri alat kesehatan masih timpang, dengan dominasi produk impor dan rendahnya persepsi mutu terhadap produk lokal. Di samping itu, infrastruktur riset dan produksi masih terbatas, sementara kendala dalam distribusi dan sistem pembayaran juga belum terselesaikan secara sistemik,” tuturnya.
Prof. Wahyudi menekankan pentingnya penguatan struktur industri dari hulu ke hilir, termasuk reformasi regulasi dan pemberian insentif fiskal yang tepat sasaran. Ia juga menyerukan perbaikan ekosistem distribusi dan transparansi data agar tercipta fondasi yang kokoh menuju kemandirian industri alat kesehatan nasional.
Pandangan serupa disampaikan Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD., Guru Besar Kebijakan Kesehatan dari FK-KMK Universitas Gadjah Mada. Menurutnya, industri alat kesehatan harus adaptif terhadap ketidakpastian ekonomi dan regulasi yang terus berubah.
“Keberhasilan inovasi sangat bergantung pada stabilitas regulasi, infrastruktur yang memadai, pendanaan riset, dan dukungan penuh dari masyarakat maupun pemerintah terhadap produk lokal hasil inovasi,” tandasnya.
Pada kesempatan yang sama, Prof. Ir. Ubaidillah, S.T., M.Sc., Ph.D., IPM, Ketua Program Studi Teknik Mesin FT UNS, mengapresiasi terbitnya Permenperin Nomor 35 Tahun 2025 sebagai angin segar bagi sektor industri alat kesehatan. Regulasi ini dinilai sebagai terobosan penting karena memperluas cakupan penghitungan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dengan memasukkan kontribusi dari kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) hingga 20%, serta investasi hingga 25%.
“Kebijakan ini mencerminkan perubahan paradigma yang sangat dibutuhkan, karena TKDN tidak lagi hanya dinilai dari aspek material, tetapi juga dari investasi intelektual dan inovatif yang dilakukan di dalam negeri. Pengakuan terhadap nilai intangible seperti kreativitas, rekayasa teknologi, dan pengetahuan akan mendorong peningkatan kualitas inovasi lokal secara menyeluruh,” ujarnya.
Diskusi yang berlangsung intensif ini menghasilkan kesimpulan bahwa pembangunan industri alat kesehatan nasional tidak bisa hanya bertumpu pada insentif ekonomi atau dorongan kebijakan semata. Diperlukan sinergi nyata antara akademisi, industri, dan pemerintah, serta konsistensi dalam mendukung inovasi yang berdampak langsung pada pasar.
ASPAKI, HIPELKI, dan FT-UNS sepakat bahwa membangun kemandirian industri alat kesehatan adalah kerja panjang yang harus dilandasi oleh ekosistem yang sehat dan kolaboratif. Mereka menekankan bahwa tanpa inovasi yang kuat dan kebijakan yang mendukung, Indonesia hanya akan jatuh pada kondisi “kemandirian semu” – tampak mandiri, namun tetap bergantung pada bahan baku, komponen, dan teknologi dari luar negeri.
Sebagai langkah lanjutan, berbagai rekomendasi strategis dari FGD ini akan dikawal untuk ditindaklanjuti melalui kerja sama lintas sektor, baik dalam hal penguatan regulasi, pembangunan SDM, hingga perumusan kebijakan jangka panjang menuju kemandirian alat kesehatan yang sejati.







