SOLO, MettaNEWS – Ketua Umum Himpunan Pengembangan Ekosistem Alat Kesehatan Indonesia (HIPELKI), dr. Randy H. Teguh, M.M., menegaskan bahwa inovasi berkelanjutan dalam industri alat kesehatan adalah kunci untuk membangun ketahanan dan kemandirian nasional di sektor ini. Pernyataan ini disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Inovasi Alat Kesehatan Nasional: Analisis Komprehensif Kendala, Tantangan & Peluang”, yang diselenggarakan atas kerja sama antara HIPELKI, Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (ASPAKI), dan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
“Industri alat kesehatan adalah industri yang sangat padat teknologi dan memiliki jenis produk yang sangat beragam. Maka dari itu, inovasi harus terus didorong – mulai dari produk jadi, komponen, bahan baku, hingga teknologi produksinya,” tegas dr. Randy.
Menurutnya, inovasi yang tepat sasaran dalam alat kesehatan tidak hanya menjawab kebutuhan medis yang berkembang, tetapi juga mampu menurunkan beban biaya pelayanan kesehatan yang selama ini membebani negara.
Dalam kesempatan tersebut, dr. Randy juga memberikan apresiasi atas terbitnya Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2025, yang mengatur sertifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan bobot manfaat perusahaan. Ia menyebut regulasi ini sebagai langkah awal yang positif dalam mendorong kontribusi brainware (intelektual dan inovasi) sebagai bagian dari komponen dalam negeri.
Namun demikian, Randy menekankan bahwa kemajuan inovasi alat kesehatan tidak cukup diukur dari investasi riset, tetapi harus dilihat dari kapasitas inovasi yang dihasilkan, serta pemanfaatannya secara nyata di pasar.
“Lembaga pendidikan dan industri harus terlibat aktif sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem inovasi alat kesehatan. Tanpa kolaborasi yang erat, kemajuan tidak akan signifikan,” jelasnya.
Lebih jauh, Randy menyoroti bahwa peranan pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan, sangat krusial dalam menciptakan regulasi dan pedoman yang pro-inovasi, termasuk mendorong hasil riset agar benar-benar masuk ke pasar.
HIPELKI juga menegaskan bahwa fokus kebijakan alat kesehatan seharusnya mendukung kebijakan kesehatan terlebih dahulu, baru kemudian memperkuat aspek perdagangan. Menurut Randy, penghargaan terhadap kontribusi inovasi dalam bentuk insentif penelitian saja tidak cukup, karena Indonesia masih menghadapi tantangan ketergantungan tinggi terhadap bahan baku, komponen, dan teknologi impor.
“Kita tidak boleh terjebak pada pseudo-resiliency, yaitu kemandirian semu. Tampak mandiri, tapi masih tergantung pada impor,” tegasnya.
Randy menyambut baik semangat kolaboratif triple-helix antara industri, pemerintah, dan akademisi, namun menekankan bahwa keberhasilan inovasi hanya bisa diukur jika produk hasil inovasi digunakan secara luas dan berdampak nyata.
“HIPELKI berharap FGD ini bisa menjadi titik tolak untuk membangun kedalaman teknologi alat kesehatan yang menjamin ketersediaan alkes yang aman, berkualitas, dan bermanfaat, serta membuka jalan bagi tindakan konkret menuju kemandirian nasional yang sesungguhnya,” pungkas dr. Randy.







