Ecoprint, Kain Cantik yang Lahir dari Dedaunan

oleh
ecoprint
Kain yang diwarnai dengan teknik ecoprint | MettaNews/Romensy Augustino

SOLO, Metta NEWS – Kerajinan ecoprint, yakni mewarnai kain menggunakan getah dedaunan, menjadi salah satu tren ramah lingkungan yang berkembang beberapa tahun terakhir. Dengan sedikit usaha dan citarasa seni, para pelaku bisnis ecoprint terbukti bisa meraup rezeki yang tidak bisa dibilang remeh.

“Beragam teknik ecoprint sudah dikembangkan di banyak negara. Di Indonesia, yang sudah menggunakan teknik ini sejak lama adalah Lombok. Di sana ada kain tradisional yang diwarnai dengan tanaman dan bunga yang ditumbuk,” ujar Inalu Moa, perajin ecoprint dari Yogyakarta.

Inalu Moa, Minggu (19/9/2021) kemarin hadir di Solo untuk memberikan pelatihan di Taman Satwataru Jurug Solo.

Kepada MettaNews, Inalu menjelaskan, membuat ecoprint tidak sulit. Yang dibutuhkan adalah selembar kain polos berbasis katun atau serat alam lainnya seperti sutra. Kemudian, bunga atau daun yang getahnya bisa mengeluarkan warna seperti daun jati, lanang, bunga waru, daun suplir atau cemara dan masih banyak lagi.

Berikutnya, ada beberapa tahapan yang harus dilalui. Yang pertama, menyiapkan kain agar bisa diwarnai dengan rata. Untuk itu kain harus direbus dengan larutan bahan kimia TRO (Turkish Red Oil) dan tawas. Tujuannya agar pori dan serat kain terlepas dari segala kotoran seperti minyak, lilin dan siap menjalani pewarnaan.

Tahap selanjutnya adalah penempatan daun pada permukaan kain. Ada beberapa cara untuk memindahkan pola dan warna ke kain. Yang banyak dilakukan, menata daun/bunga pada kain, kemudian kain digulung dan diikat. Kemudian dipanaskan dengan uap air atau steam.

Ada teknik lain, seperti pounding, yakni menempatkan bunga/daun di atas kain kemudian memukulnya berulang kali dengan palu kayu. Tujuannya untuk memindahkan getah ke kain sehingga membentuk pola dan warna yang diinginkan.

Tahap terakhir adalah pengucian warna agar tidak mudah luntur yang disebut fiksasi. Proses ini adalah merendam kain yang sudah diwarnai dalam larutan tawas, kapur atau tunjung. Masing-masing bahan fiksasi akan menghasilkan efek yang berlainan.

“Ecoprint lebih punya nilai artistik dan lebih ramah lingkungan. Kesan dan kelas produk ini pun beda dibanding print digital. Satu meter kain katun ecoprint berkisar Rp 200 – 300 ribu kalau sutra sekitar Rp 750 ribu per meter,” pungkasnya

OLO, Metta NEWS – Kerajinan ecoprint, yakni mewarnai kain menggunakan getah dedaunan, menjadi salah satu tren ramah lingkungan yang berkembang beberapa tahun terakhir. Dengan sedikit usaha dan citarasa seni, para pelaku bisnis ecoprint terbukti bisa meraup rezeki yang tidak bisa dibilang remeh.

“Beragam teknik ecoprint sudah dikembangkan di banyak negara. Di Indonesia, yang sudah menggunakan teknik ini sejak lama adalah Lombok. Di sana ada kain tradisional yang diwarnai dengan tanaman dan bunga yang ditumbuk,” ujar Inalu Moa, perajin ecoprint dari Yogyakarta.

Inalu Moa, Minggu (19/9/2021) kemarin hadir di Solo untuk memberikan pelatihan di Taman Satwataru Jurug Solo.

Kepada MettaNews, Inalu menjelaskan, membuat ecoprint tidak sulit. Yang dibutuhkan adalah selembar kain polos berbasis katun atau serat alam lainnya seperti sutra. Kemudian, bunga atau daun yang getahnya bisa mengeluarkan warna seperti daun jati, lanang, bunga waru, daun suplir atau cemara dan masih banyak lagi.

Berikutnya, ada beberapa tahapan yang harus dilalui. Yang pertama, menyiapkan kain agar bisa diwarnai dengan rata. Untuk itu kain harus direbus dengan larutan bahan kimia TRO (Turkish Red Oil) dan tawas. Tujuannya agar pori dan serat kain terlepas dari segala kotoran seperti minyak, lilin dan siap menjalani pewarnaan.

Tahap selanjutnya adalah penempatan daun pada permukaan kain. Ada beberapa cara untuk memindahkan pola dan warna ke kain. Yang banyak dilakukan, menata daun/bunga pada kain, kemudian kain digulung dan diikat. Kemudian dipanaskan dengan uap air atau steam.

Ada teknik lain, seperti pounding, yakni menempatkan bunga/daun di atas kain kemudian memukulnya berulang kali dengan palu kayu. Tujuannya untuk memindahkan getah ke kain sehingga membentuk pola dan warna yang diinginkan.

Tahap terakhir adalah pengucian warna agar tidak mudah luntur yang disebut fiksasi. Proses ini adalah merendam kain yang sudah diwarnai dalam larutan tawas, kapur atau tunjung. Masing-masing bahan fiksasi akan menghasilkan efek yang berlainan.

“Ecoprint lebih punya nilai artistik dan lebih ramah lingkungan. Kesan dan kelas produk ini pun beda dibanding print digital. Satu meter kain katun ecoprint berkisar Rp 200 – 300 ribu kalau sutra sekitar Rp 750 ribu per meter,” pungkasnya