Pendidikan untuk Penyandang Disabilitas, Makin Suram Akibat Pandemi Covid-19

oleh

MAGELANG, MettaNEWS – Masalah pendidikan untuk anak penyandang disabilitas di Indonesia, masih diliputi banyak masalah. Terlebih di masa pandemi Covid-19 yang berlangsung cukup lama. Banyak dari mereka yang karena berbagai sebab, tidak bisa mengikuti pendidikan secara online.

Permasalahan itu terungkap dalam forom #NglarasMbahas Masa Depan Lebih Tangguh, yang diadakan Yayasan Akatara Jurnalis Sabahat Anak dalam rangka Hari Disabilitas Internasional. Acara dilakukan secara di Magelang dan secara online, Sabtu (11/12/2021).

Beratnya permasalah tentang pendidikan anak disabilitas, seperti yang diungkapkan Ermi Ndoen, Kepala perwakilan Unicef di Surabaya. Dia memaparkan data, di Indonesia terdapat 23 juta anak penyandang disabilitas. Sebagian besar dari jumlah itu, bermasalah dalam memperoleh akses pendidikan.

Terlebih, riset Komnas HAM juga menyatakan penutupan sekolah memaksa anak-anak penyandang disabilitas tinggal di rumah untuk durasi yang lebih lama. Hal ini dapat meningkatkan stres pada anak-anak, menambah ketegangan dan menurunkan kondisi kesehatan mental anak-anak dan orang tua di rumah.

“Diperlukan uluran tangan dari semua pihak untuk krisis ini. Mulai dari pemerintah, kalangan pendidik dan masyarakat luas semua harus bekerja sama,” ujarnya.

Menceritakan kondisi riil di lapangan, beberapa narasumber dari kalangan praktisi pendidikan membenarkan permasalahan itu. Di antaranya, Miftahul Huda dari Program Pendidikan Inklusi LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.

Huda menyebut ide, untuk mengatasi masalah keterbatasan fasilitas pendidikan untuk penyandang disabilitas diperlukan kerja bersama. Misalnya, sekolah-sekolah umum digerakkan untuk menjadi sekolah inklusi, kalau bisa dalam satu wilayah kecamatan ada dua sekolah atau lebih. Jika tercapai proporsi seperti itu, bisa dikatakan sebagian besar anak penyandang disabilitas akan tertampung. Peran SLB pun bisa ditingkatkan, tidak saja sebagai penampung siswa berkebutuhan khusus dan penyandang disabilitas, tapi bisa menjadi penyedia mentor dan berbagai kebutuhan sekolah inklusi di wilayahnya.

Sedangkan Dwi Susilawati, psikolog anak RSUP dr Sardjito Yogyakarta yang juga hadir sebagai narasumber, menekankan anak penyandang disabilitas sangat membutuhkan perhatian lebih karena memiliki kerentanan dan situasi khusus.

Indonesia telah memiliki undang-undang yang melindungi hak-hak penyandang disabilitas yaitu Undang-undang nomor 8 Tahun 2016. Di dalam undang-undang tersebut dijamin hak-hak penyandang disabilitas yang berasaskan pada penghormatan terhadap martabat, otonomi individu, tanpa diskriminasi.

“Namun penerapan undang-undang harus diakui belum merata. Ini harus menjadi beban dan atensi semua pihak, agar masalah pendidikan yang notabene adalah pondasi bagi suatu bangsa, bisa diterima dengan merata termasuk bagi penyandang disabilitas,” tandasnya.