SOLO, Metta NEWS – Keraton Kasunanan Hadiningrat mengadakan Royal High Tea & Talks untuk memperingati Hari Batik. Kegiatan peragaan budaya, diskusi dan pameran batik eksklusif karya Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pradapaningsih Prameswari Sinuhun PB XIII ini digelar di Kagungan Dalem Sasana Andrawina, Sabtu (2/10).
Acara dijalankan dengan protokol kesehatan yang ketat yang dihadiri PB XIII, rayi-rayi dalem, keluarga Keraton Kasunanan, Sentana Dalem, Wakil Wali Kota Surakarta Teguh Prakosa dan beberapa tokoh masyarakat Kota Solo. Dalam sambutannya GKR Pradapaningsih bercerita perjalanan selembar kain batik yang melintasi masa ke masa.
“Sejak jaman Majapahit, perempuan-perempuan Jawa pada masa lampau menjadikan keterampilan membatik sebagai mata pencaharian. Sehingga pada masa itu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan,” tutur Kanjeng Ratu.
Kanjeng Ratu Pradapaningsih menyebut motif batik yang dibuat pada masa Majapahit sangat sederhana, baru pada masa Keraton Mataram batik mulai mengalami perkembangan baik motif maupun detail coraknya.
“Pada awalnya batik hanya terbatas dikerjakan di dalam keraton dan hasilnya dipakai oleh raja dan keluarga kerajaan. Banyak pengikut raja yang tinggal di luar keraton maka seni batik ini dibawa oleh mereka keluar keraton dan dikerjakan di tempat masing-masing,” ujar Kanjeng Ratu.
Motif batik tidak sekedar coretan yang tanpa makna lanjut Kanjeng Ratu. Ia mengatakan pembuatan motif batik selain diilhami dari peristiwa tertentu yang dialami oleh si pembuat juga mempunyai filosofi tersendiri.
Kegiatan tersebut sekaligus sebagai launching karya-karya batik buatan Kanjeng Ratu Pradapaningsih. Sebanyak 7 karya baru ini mempunyai latar belakang penciptaan dan mengandung makna tertentu.
Karya tersebut lahir dari tirakat, lelaku yang selama ini dilakukan dengan tekun oleh Kanjeng Ratu. Karya tersebut adalah motif Parang Lara Ati yang lhir ketika ia mengalami masa-masa susah.
“Motif ini bermakna sebuah harapan agar selalu kuat setegar karang dalam kondisi apapun,” tutur Kanjeng Ratu.
Motif-motif lainnya adalah motif Gajah Manggala Seling Parang Pedang, motif Parang Gunungsari, motif Naga, motif Puspita Rinonce, motif Sekar Jagad dan motif Parang Gapit Naga.
“Motif Parang Gapit Naga saya desain sebagai persembahan kepada Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XIII, suami yang sangat saya cintai yang telah mengijinkan saya berkarya dan memberi palilah sehingga acara ini dapat terselenggara. Motif Parang Gpit Naga mengandung harapan agar seorang pemimpin memiliki keteguhan dalam pendirian serta mampu menjadi pengayom,” tutur Kanjeng Ratu dengan penuh keharuan.
Dalam Royal High Tea & Talks, yang dipimpin oleh R.Ay Febri Hapsari Dipokusumo membahas beragam macam motif batik dan filosofinya.
“Sebuah karya batik diciptakan dari olah rasa, cipta dan karsa, seperti batik karya Kanjeng Ratu yang dihasilkan dari sebuah laku tirakat. Setiap permaisuri raja selalu menciptakan karya batik sendiri. Kanjeng Ratu mencoba menghidupkan kembali dengan membina pengrajin batik yang ada di keraton,” tutur Febri.
Dalam diskusi tersebut Febri berbagi ilmu mengenai macam-macam motif batik yang tidak bisa sembarangan digunakan.
“Ada motif batik Soblok, kita harus hati-hati karena Soblok digunakan khusus untuk melayat atau berhubungan dengan pemakaman. Motif parang juga ada aturannya yakni parang harus dari kanan atas ke kiri bawah, jangan sebaliknya karena akan mempengaruhi kehidupan,” terang Febri.
Febri menekankan, motif-motif batik tidak bisa asal digunakan karena lahir dari olah rasa penciptanya.
“Parang dan Lereng hanya dipakai oleh keluarga kerajaan ketika masuk ke dalam keraton. Lereng atau parang ini di dalam kerajaan juga dipakai untuk jarik gendong bayi khusus untuk putra ratu, wayah dalem, kalau bukan mereka tidak boleh menggunakan jarik untuk menggendong bayi dengan motif tersebut,” papar Febri mencontohkan.
Dengan tingginya filosofi batik tersebut, Febri mengajak untuk menjaga dan melestarikan batik Indonesia dengan juga memahami maknanya.
“Intinya dari hidup manusia Jawa, mulai dari lahir sampai meninggal selalu menggunakan jarik atau kain batik,” pungkas Febri.
Menutup kegiatan tersebut digelar defile prajurit keraton yang berjalan dari dalam keraton menuju ke halaman Kori Kamandungan yang mengundang antusias masyarakat untuk menonton. Pada kesempatan tersebut, PB XIII juga turut menyaksikan hingga defile selesai.