Endah Laras, Bukan Kacang yang Lupa Kulit

oleh

SOLO, MettaNEWS – Menyimak live show seorang Endah Laras, biduan berbagai genre musik asal Solo, tentu asyik. Namun, konser Jumat (5/11/2021) malam yang bertajuk Endahing Waldjinah Larasing Keroncong di rumah dinas Walikota Solo, Loji Gandrung, Endah tak sekadar menyanyi.

Dari setiap lagu yang ditampilkan, satu-persatu dia mengupas kisah perjalanan karirnya selama 25 tahun di panggung musik keroncong. Meski, publik mengenal Endah Laras sebagai artis multitalenta. Di dunia seni suara dia punya debut sebagai sinden, penyanyi keroncong, pop, campursari hingga seriosa. Bahkan seni peran pun dia lakoni dengan baik.

Tampil dengan kebaya merah, Endah Laras mengawali show dengan langgam Yen ing Tawang Ana Lintang. Sekelompok pemain orkestra khusyuk mengiringi lagu karya jurnalis dan seniman keroncong Anjar Any itu.

“Lagu ini sengaja saya tampilkan di awal, karena Yen ing Tawang Ana Lintang adalah yang saya nyanyikan pertama kali di panggung keroncong. Pak Anjar Any banyak membantu dan membimbing saya, bahkan saya sudah dianggap anak bungsu,” tutur Endah di depan sekitar 200 penonton langsung, serta yang menonton melalui tiga kanal Youtube.

Sejumlah nama lain pun disebutnya. Endah tak segan meminta panitia menyalakan lampu agar hadirin bisa melihat sosok Edy Winoto yang kebetulan duduk di deretan penonton di belakang.

“Mas Edy ini pemain cello, dulu selalu menemani saya pentas keroncong. Saya ingat betul, pertama kali rekaman ke Semarang, diantar Mas Edy, dia yang nyopir, dan di-direct terus oleh Pak Anjar ditemani Ibu Anjar,” paparnya.

Masih ada sejumlah nama dan peran yang disebutkan. Seperti saat menyanyikan Stambul Baju Biru, Endah didampingi tiga pria pemain gitar, flute dan biola.

Pemain flute, Sapto Haryono, ternyata sosok pemilik ukulele yang sudah melekat dengan penampilan Endah Laras. “Mas Sapto bilang, ukulele ini gak boleh saya beli, tapi kalau mau dipakai sampai kapan pun malah boleh,” ujarnya.

Pemain gitar, Agung, disebutnya sering memberinya inspirasi atas karya-karya idealis. Sedangkan Danis Sugiyanto, pemain biola, disebutnya mirip dengan dirinya, berangkat dari karawitan namun mencintai keroncong dengan totalitas.

“Kami pernah diundang ke Richmod University dan Pittsburgh University untuk mengisi workshop tentang keroncong,” ulas Endah.

Tokoh yang disebut sangat berjasa, tentu saja Waldjinah. Semalam, maestro keroncong yang sudah sepuh itu hadir dengan berkursi roda. Dua bintang panggung dari era yang berbeda itu tampil dengan kebaya ungu yang seragam. Endah Laras menyanyikan lagu ciptaannya: Waldjinah.

Endah tampaknya sadar betul, kebesaran namanya tidak dicapainya sendirian. Di tengah acara dia mengajak beberapa pemusik keroncong untuk menerima tali asih.

Total ada 11 lagu yang disuguhkan. Mulai dari Yen ing Tawang Ana Lintang, Gemes, Gethuk, Stambul Baju Biru, Walang Kekek, Ayo Ngguyu, seluruhnya adalah lagu yang dipopulerkan oleh Waldjinah. Sedangkan dua lagu ciptaan Endah Laras adalah Selendang Merah dan Waldjinah.

Tak sendirian, di tengah pentas Endah Laras menarik putri kandungnya, Woro Mustiko. Duet mereka membawakan Lagu Selendang Merah yang liriknya ditulis oleh Garin Nugroho.

“Kehormatan lagi untuk musik keroncong, Mas Garin minta saya menciptakan lagu untuk opera Jawa Selendang Merah. Sebelumnya, lagu Stambul Baju Biru itu juga hadir di Opera Jawa Tusuk Konde yang pentas di Museum Tropen, Amsterdam,”kata Endah Laras.

Pentas 25 tahun ini banyak mendapatkan komentar dari sejumlah tokoh yang dihadirkan secara online. Presiden Jokowi, Romo Sindhu, Bens Leo, Butet Kertaredjasa, Sujiwo Tejo hingga Shoimah, memberikan apresiasi.

Terakhir, pentas ditutup dengan lagu Ayo Ngguyu, di mana Endah Laras sempat meminta beberapa hadirin termasuk Wali Kota Gibran Rakabuming untuk tertawa sebagai senggakan dari lagu.