SOLO, MettaNEWS – Aktivitas lari di akhir pekan maupun sore hari kini menjadi pemandangan umum di kota-kota besar seperti Solo, Semarang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, hingga Denpasar.
Namun tren ini, tak lagi sekadar soal olahraga atau menjaga kebugaran tubuh. Lari berkembang menjadi bagian dari gaya hidup baru yang populer dengan sebutan kalcer.
Kata kalcer merupakan bahasa serapan dari culture dikalangan generasi muda dan menjadi bagian dari bahasa gaul, Menurut riset “Penggunaan Makna Konotasi dan Lanskap Bahasa Gaul di Era Gen Z: Prespektif Morfologi” pada tahun 2024, istilah-istilah gaul kerap mengalami pergeseran makna lahir secara spontan dan kolektif tanpa pencetus jelas.
Bahkan di media sosial banyak warganet menyusun kamus istilah Gen Z berisi akronim dan plesetan yang berbeda makna dari asal katanya. Dalam konteks ini “kalcer lari” menggambarkan aktivitas lari yang bukan hanya ditunjukan untuk olahraga, melainkan juga sarana menujukkan eksistensi sosial dan estetika digital.
Ada unsur satir didalamnya bahwa berlari dilakukan demi tampilan di media sosial, bukan semata mata kesehatan. Fenomena ini terlihat jelas di lokasi populer seperti di Stadion Manahan Solo, Sudirman, Car Free Day (CFD), hingga Gelora Bung Karno (GBK). Peserta biasanya tampil dengan busana olahraga bermerek, mengunggah catatan pace, OOTD, dan swafoto berlatar sinar matahari pagi, sore hari.
Setelah itu tak jarang mereka melanjutkan dengan nongkrong sembari menikmati menu kekinian seperti brunch sehat, kopi susu, atau avocado toast bahkan makanan ringan, seperti roti.
Kini lari di kawasan urban bukan hanya simbol gaya hidup sehat tetapi juga menjadi produktivitas dan estetika, mulai dari pemilihan active wear, kulit yang tampak segar usai berkeringat, hingga permainan filter hangat di unggahan media sosial.
Di sisi lain, komunitas lari juga menjadi ajang mencari lingkaran sosial baru, banyak yang tergabung bukan sekedar hobi, tetapi untuk menemukan teman dengan frekuensi yang sama.
Aktivitas sederhana ini pun berkembang menjadi budaya populer dimana olahraga, pencitraan dan algoritma media sosial saling bertemu, lari tidak lagi sebatas kegiatan fisik, melainkan juga identitas tentang bagaimana seseorang ingin dipersepsikan dan komunitas mana yang ia pilih.
Belakangan muncul fenomena lain yang cukup kontroversial di dunia lari digital, khususnya pada platform pelacak aktivitas olahraga Strava, beberapa pengguna diketahui menyewa orang lain untuk berlari atas nama mereka, demi memamerkan catatan jarak dan waktu yang imersif.
Padahal, Strava umumnya digunakan untuk memantau progres latihan, mengukur pencapaian pribadi serta bersaing sehat dalam komunitas. Namun, media sosial memicu sebagian orang mencari jalan pintas agar terlihat hebat, fenomena ini dikenal dengan istilah Strava jockey (joki Strava-red) dengan cara ini pemilik akun bisa memamerkan hasil lari luar biasa tanpa perlu turun langsung.
Dorongan tampil sempurna di media sosial menjadi alasan utama bagi mereka yang sibuk, cedera, atau kehilangan motivasi, menyewa joki dianggap solusi cepat untuk tetap eksis. Tren ini makin menggiurkan karena adanya lomba virtual dan tantangan online yang menawarkan hadiah maupun pengakuan publik.
Namun, praktik tersebut menimbulkan dilema etis, sejatinya lari adalah olahraga yang menekankan kerja keras dan pencapaian diri menyewa orang lain untuk berlari jelas mengaburkan nilai sportivitas sekaligus merusak keadilan kompetisi di papan peringkat Strava.
Banyak yang menawarkan jasa lari dengan tarif tertentu memasang harga Rp 10.000 per kilometer. Bahkan paket sedang bisa dengan dihargai Rp 300.000. Meski marak di indonesia tren ini sejatinya juga muncul secara global sama seperti fenomena digital lainnya, dorongan validasi dan pencarian pengakuan di media sosial berpotensi membuat praktek joki strava berkembang di berbagai negara. (Alif Noor Pratama/Magang Ilkom/UNISRI).







